Sangihe, Elnusanews – Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi Gabungan DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe yang digelar digedung DPRD pada hari ini, Senin (27/10/2025) berubah tegang.
Ketegangan memuncak setelah Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah (Setda) secara mengejutkan mengakui bahwa mereka tidak memiliki Prosedur Operasional Standar (SOP) tertulis untuk pemutusan kontrak pangkalan minyak tanah.
Pengakuan ini sontak memicu amarah para anggota dewan yang mencecar Kabag Ekonomi Mariana S. Kuheba.
Pihak dewan mempertanyakan dasar hukum di balik keputusan sepihak memutus kontrak dua pangkalan di Kampung Petta Selatan dan Kampung Likuang, Kecamatan Tabukan Utara.
RDP ini digelar menyusul desakan keras dari Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP-KPK) Komite Cabang Sangihe. LP-KPK mencium adanya dugaan maladministrasi dan kesewenang-wenangan yang merugikan pangkalan lama di Petta Selatan.
Apakah SP1 Langsung Putus Kontrak?"
Pertanyaan tajam dilontarkan oleh anggota Komisi 1, Stans Jul Pulu, S.Pd.
"Kami minta ditayangkan aturannya, apakah SP1 bisa langsung diputus kontrak? Perusahaan saja ada SOP, SP1, SP2, SP3, baru diputus kontrak," tegas Pulu.
Ia menilai kebijakan tanpa prosedur yang jelas ini berpotensi merugikan masyarakat, terutama penerima subsidi.
Menanggapi cercaan tersebut, Kabag Ekonomi Mariana S. Kuheba. awalnya mencoba berkelit, beralasan bahwa pemutusan kontrak didasarkan pada "satu kali teguran yang didukung kesepakatan bersama."
Namun, anggota Komisi I Rustam H. Pakaya terus mendesak, menuntut bukti SOP yang sah.
"SOP-nya secara tertulis memang tidak ada," ucap Kabag Ekonomi dan akhirnya sebuah pengakuan yang membuat suasana semakin panas.
Ia berkilah bahwa keputusan diambil berdasarkan "interpretasi" terhadap pelanggaran yang dianggap cukup, tanpa didukung bukti konkret seperti surat teguran tertulis.
LP-KPK Ungkap Dugaan Permainan Izin
LP-KPK membongkar kronologi yang mengejutkan di balik kasus ini. Menurut Ketua Komcab Sangihe, Johan Adler Fredrik Lukas, izin pangkalan lama milik Nurlaylah Mangantar masih berlaku hingga 7 Juli 2026, dengan perjanjian kerja sama dengan PT Pertamina hingga 10 Juli 2026.
Namun, Bagian Perekonomian secara sepihak menerbitkan izin baru pada Oktober 2025 untuk pangkalan lain atas nama Irfan Timbowo. Akibatnya, pangkalan lama diputus kontraknya oleh agen penyalur pada 10 Oktober 2025 atas perintah Bagian Perekonomian.
"Pengakuan ini memuncak saat anggota dewan mempertanyakan validitas 'pelanggaran' tanpa adanya bukti berupa surat teguran tertulis," tambah Johan Lukas, menegaskan kejanggalan dalam proses pemutusan kontrak.
Menyikapi polemik yang semakin runyam, pimpinan rapat, Wakil Ketua II Marvein Hontong dan Wakil Ketua I Rizald Paulus Makagansa, bersama komisi gabungan sepakat untuk mengembalikan kontrak ke pangkalan lama.
Mereka juga mendesak Bagian Ekonomi Setda untuk segera memberikan kejelasan dan transparansi terkait aturan yang menjadi dasar penghentian pangkalan.
Para anggota dewan menegaskan pentingnya prosedur yang berlandaskan hukum agar tidak ada lagi kebijakan sepihak yang merugikan rakyat.
(OpMud)


0 komentar:
Post a Comment